ICHSAN, M.Sn., Kepala Museum Kota Juang Bireuen dan Dosen ISBI Aceh, melaporkan dari Kota Jantho, Aceh Besar
Sebagai salah satu provinsi di Indonesia, Aceh dikenal sebagai daerah modal. Pernyataan itu disampaikan oleh Ir Soekarno pada Juni 1948 di Sigli (Jacob Jacobi, 1992). Kalimat tersebut melekat di Aceh hingga saat ini. Pernyataan yang disampaikan Bung Karno itu bukan tanpa alasan. Sumbangsih pesawat Dakota atau RI 001 dan RI 002 yang menjadi pesawat pertama negara Indonesia plus sumbangsih emas yang bertengger di puncak Monas, serta “nyanyian” Radio Rimba Raya yang nenyebutkan “Indonesia masih ada” adalah sebagian kecil dari sumbangsih Aceh kepada bangsa Indonesia. Tentu tanpa kita nafikan bahwa daerah lain juga ikut menyumbang.
Jika kita melihat Aceh sebelum kemerdekaan, maka Aceh akan lebih dikenal sebagai daerah Serambi Makkah. Lahirnya peradaban Islam pertama pada 820 Masehi di Bandar Perlak/Peureulak serta kedekatan Islam dengan Aceh, menjadi salah satu alasan Aceh disebut dengan Serambi Makkah. Direktur Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Mawardi Umar dalam Info Publik (2023) menyebutkan bahwa julukan Serambi Makkah untuk Provinsi Aceh hadir tidak terlepas dari keberadaan dan pengaruh Kerajaan Islam Aceh terhadap Nusantara dan dunia.
Kerajaan Aceh berdiri tahun 1205 Masehi. Saat itu, Meurah Johan atau lebih dikenal dengan Sultan Alaidin Johan Syah bin Meurah Adi Genali bin Meurah Meugoe bin Meurah Meursa bin Meurah Mahkdum Malik Isaq yang merupakan Raja Isak I, Johan Syah dinobatkan menjadi Raja pertama Kerajaan Aceh dibimbing oleh Syekh Hudam. Ini terjadi pascatakluknya Kerajaan Indra Patra setelah peperangan dengan Putri Nian Khien Lie (Haslinda, 2011).
Dua ratus tahun lebih setelah itu, tepatnya pada 1511 Masehi, Sultan Ali Mughayat Syah bin Sultan Alaidin Syamsu Syah bin Munawar Syah yang juga merupakan keturunan ke-10 dari Johan Syah hadir menyatukan seluruh daerah sekitar dan membentuk Kerajaan Aceh yang lebih besar serta menamakannya dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Masih dalam buku Jocobi, ia juga menyebutkan bahwa Aceh merupakan negara adidaya kala itu, berdampingan dengan empat kerajaan Islam lain, di antaranya Mughal, Istanbul, dan Maroko.
Tompirez dalam catatan (Haslinda, 2011) menuliskan “Bila saja satu kapal Aceh (pengangkut rempah) dapat dirampok, maka itu akan cukup untuk biaya perang lima tahun di Timur Tengah.”
Pernyataan tersebut memberi gambaran bahwa betapa kaya dan majunya Kerajaan Aceh pada masa lalu.
Setelah Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 dan Raja Aceh terakhir (Muhammad Daudsyah) tertangkap pada 1904, Kejayaan Aceh mulai redup.
Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, menggiring Aceh memilih bergabung bersama dengan Indonesia hingga saat ini.
Secuil cerita nyata perjalanan peradaban Aceh yang hampir bertahan 750 tahun tentu tidak dapat mewakili narasi peradaban yang pernah besar. Dalam hal itu, saya hanya mengajak me-review semangat masa lalu dalam sajak “Kejayaan Aceh jak tapeuwoe bak asai mula”, (Kejayaaan Aceh harus kembali seperti masa kejayaannya dahulu).
Kalimat tersebut mungkin akan dianggap spirit impossible atau bahkan lumpoe (mimpi), tetapi tidak bagi penulis.
Keberadaan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) sebagai institusi pendidikan yang andil di bidang seni dan budaya dirasa dapat menjadi salah satu instrumen menuju kejayaan Aceh kembali. Kehadiran ragam program studi (prodi), mulai dari Seni Rupa dan Seni Pertunjukan serta Ilmu Budaya yang dapat dipastikan hampir memiliki nilai keacehan, dapat menjadi pendorong nyata, apalagi keseluruhannya didukung oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Di antara sinergitas lembaga pendidikan yang semakin erat terbangun dengan ISBI adalah turunan qanun yang sejalan dengan Instruksi Gubernur tentang Penggunaan Bahasa Aceh juga beriring sama dengan dibukanya Prodi Bahasa Aceh di ISBI Aceh. Ini hanyalah salah satu dari banyak langkah yang sudah menjadi langkah solutif untuk mengembalikan peradaban Aceh kembali jaya.
Wacana pendirian Prodi Kuliner Aceh, Fashion Syariah, Sejarah Kebudayaan Aceh, Arsitektur Rumah Aceh, Pariwisata Syariah dapat menjadi salah satu instrumen tambahan dalam menghadirkan Aceh yang maju. Bukan tidak mungkin, sejalan dengan keberadaan prodi-prodi tersebut, akan lahir prodi yang sejalan dengan cita-cita yang sama dalam spirit yang sama di perguruan tinggi negeri (PTN) lain di Aceh.
Keberadaan otonomi khusus tentu telah pula menjadi langkah maju, bahkan kewenangan mengelola Aceh yang diberikan lebih kepada pemerintah daerah telah menjadi langkah nyata pula. Perlu disadari, Aceh masa lalu jaya bukan karena gedung yang megah, melainkan karena karakter kebangsaan yang bersahaja.
Membangun karakter tidaklah sama dengan membangun gedung, dibutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun. Apa yang dilakukan oleh ISBI telah sejalan dalam ikhtiar tersebut, yakni melahirkan sumber daya alam (SDA) yang “qualified’ yang dapat dilihat hasilnya 10 sampai dengan 20 tahun ke depan.
Semangat ISBI Aceh tahun ini yang dituangkan dalam visi Rektor ISBI Dr Wildan MPd untuk menjadikan ISBI sebagai Pusat Pendidikan Seni dan Budaya yang Islami di Asia Tenggara menjadi langkah konstruktif yang nyata pula bagi Aceh.
Berbagai regulasi dan statuta yang menjangkau ruang gerak yang lebih luas untuk menjadikan ISBI Aceh terus beikhtiar menjadi pelopor dalam pendidikan seni dan budaya semakin tampak bahwa ISBI hadir untuk Aceh yang “meusyuhu” (mahsyur).
Jika Iran yang dulunya Persia dapat bangga dengan menjadikan masa lalu sebagai sebuah langkah yang berkemajuan, serta Turki yang maju menjadikan spirit sejarah Ottoman-nya, tentu Aceh dapat pula bangga melangkah menuju kemajuan dengan sejarah, seni, dan kebudayaan Aceh di masa lalu.
Sinergitas dan kebersamaan harus menjadi perisai dan pengetahuan harus menjadi pedang untuk berperang melawan kebodohan yang merupakan ibu kandung dari kemiskinan dan ketertinggalan.
ISBI Aceh yang konsen dalam dunia seni dan budaya kini telah mengambil bagian untuk menjadikan seluruh prodinya ikut andil dalam peningkatan mutu dan SDM.
Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat ditarik sebuah simpulan yang sederhana bahwa Aceh merupakan sebuah daerah yang pernah berjay bukanlah cerita rakyat atau mitologi. Perjalanan yang panjang tentang sejarah, seni, budaya, agama, dan adat istiadat tentu masih menyisakan catatan yang tentu kemudian dapat dijadikan kajian akademis terhadap pendidikan seni dan budaya.
Berbagai rintangan tidak boleh menjadi halangan. Sebaliknya, rintangan dan hambatan harus jadi peluang dengan menjadikan ilmu sebagai dasar. Dibutuhkan dedikasi tinggi dalam mewakafkan keikhlasan untuk membangun Aceh layaknya yang dilakukan oleh para pendahulu kita.
Satu poin yang menjadi catatan, pembentukan peradaban Aceh yang maju akan memakan waktu yang lama jika tidak dilakukan secara bersama-sama. Oleh karena itu, dukungan semua pihak tanpa ada sekatan dapat menjadi pelopor nyata, di samping ISBI Aceh yang telah mengambil peran sebagai lokomotif dalam menghadirkan SDM Aceh yang lebih berkualitas dan bermartabat. (*)