ACHMAD ZAKI, M.A., Dosen dan Kepala UPA Pengembangan Karier dan Kewirausahaan ISBI Aceh serta Koordinator FAMe Chapter ISBI Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar
Intsitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh bersama masyarakat Jantho menggenapkan rangkaian peringatan Hari Jadi Ke-40 Kota Jantho dengan gelaran Kongres Peradaban Aceh (KPA) II. Para seniman dan budayawan menyambut gembira gelaran agenda pemajuan peradaban ini.
Secara historis, KPA pertama kali digagas oleh para seniman dan budayawan diaspora dan digelar di Jakarta tahun 2015. Dalam sambutannya, DrAhmad Farhan Hamid selaku Ketua SC KPA II, mengatakan saat pelaksaan kongres pertama, mereka berharap kongres ini tidak melibatkan pemerintah. Biarlah kongres ini digagas dan dipelihara oleh mereka yang mempunyai atensi khusus terhadap peradaban Aceh sehingga akan terhindar dari berbagai kepentingan. Sudah saatnya rakyat Aceh mengambil peran sebagai aktor dalam pemajuan peradabannya sendiri, bukan menjadi epigon.
Salah satu rekomendasi KPA I adalah menyelenggarakan kongres lanjutan dengan tema kuliner. Akan tetapi, hari berlalu, tahun berganti, hingga memasuki tahun 2023 akhir, KPA selanjutnya belum juga dapat diselenggarakan. ISBI Aceh memberanikan diri mengambil tanggung jawab moral sebagai satu-satunya PTN seni di Aceh yang tentunya menjadi tulang punggung pengembangan kebudayaan yang bermuara pada peradaban. Akhirnya, pada 6-8 Mei 2024, KPA ll resmi digelar oleh ISBI Aceh bahu-membahu dengan BPKW I Aceh dan masyarakat Jantho.
KPA II mengusung tema Pemerkasaan Seni Budaya di Era Kecerdasan Artifisial. Dalam pidato pembukaan, Rektor ISBI, Prof Wildan menjelaskan alasan pemilihan tema KPA II ini yang disandingkan dengan kecerdasan buatan. Seniman dan budayawan harus peka terhadap segala perubahan sehingga mereka siap untuk terus menyesuaikan diri. Kita tidak dapat menyalahkan orang lain apabila kebudayaan kita tidak berkembang, bahkan suatu saat akan hilang. Akan tetapi, kita harus berkaca dan terus menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Seniman dan budayawan merupakan figur dalam pengembangan kreativitas, mereka dapat memberikan asupan vitamin dalam pengembangan kebudayaan dan peradaban. Sehingga, dapat menghindari mandeknya perkembangan kebudayaan atau dengan istilah lain adalah ‘stunting’.
Amatan saya, KPA II ini sangat meriah, diiringi oleh berbagai kegiatan. Pada hari pertama diawali dengan Konferensi Internasional dengan tema “The Empowerment of Acehnese Arts and Culture in Builiding Future Civilization”. Konferensi ini berjalan sukses dengan pembicara dari dalam dan luar negeri, yaitu Dr Restu Gunawan mewakili Kemendikbudristek, Komjen Pol (Purn) Prof Iza Fadri (Dubes Myanmar 2018-2023), Dr Saparudin Barus ST, MM (dari Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia), Dr James Bennet (Museum Seni Northern Territory, Australia), Dr Roostum Vansu (Universitas Srinakhairinwirot, Thailand), Dr Muqtedar Khan (Universitas Delaware, Amerika Serikat), dan diakhiri oleh Prof Dr Khairul Azril Ismail (National Academy of Arts and Culture, Malaysia).
Malam harinya diadakan acara pembukaan dengan menampilkan putra terbaik Aceh, Fachry Ali yang berdomisili di Jakarta, untuk menyampaikan pidato kebudayaan. Uniknya, pidato yang disampaikan Fachry selalu diselipi senandung, ini mengingatkan kita akan kebiasaan masyarakat Aceh yang gemar bersenandung dan berhikayat.
Fachry membangun romantisme masa lampau Aceh dengan berbagai sentuhan hikayat. Membuka kembali lembaran sejarah perjuangan rakyat Aceh.
Kemeriahan dilengkapi dengan Pameran Seni Budaya & UMKM, dan berbagai workshop dari Prodi Kajian Sastra dan Budaya, Desain Interior, Bahasa Aceh, Seni Tari, Seni Rupa Murni, Desain Komunikasi Visual, dan Seni Kriya.
Kongres ini juga dimeriahkan oleh Kemah Seniman dan Budayawan sebagai pengejawantahan kekayaan ekspresi kebudayaan Aceh. Dalam arena kemah seniman disediakan pangung sebagai tempat para seniman berkreasi. Hari kedua dilaksanakan kongres yang dihadiri oleh PYM Malik Mahmud, seniman dan budayawan seluruh Aceh.
Sebagai pematik diskusi, panitia kongres menghadirkan Ismali Rasyid (pengusaha Aceh yang berdomisili di Jakarta), Dr. Surya Darma (Sekretaris Diaspora Global Aceh), Reza Idria Ph.D (Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh), juga yang mewakili Pangdam Iskandar Mudda.
Saya berbahagia sekali menyaksikan betapa hangatnya sebuah forum diskusi yang dipandu Yarmen Dinamika dan akan memengaruhi arah kebudayaan dan peradaban Aceh di masa depan. Ini membuktikan segenap elemen masyarakat Aceh masih sedia untuk ‘meuseuraya’ (bergotong royong) dalam memikirkan keberlangsungan peradabannya. Mungkin selama ini, hanya waktu saja yang tidak mempertemukan mereka.
Selanjutnya para peserta kongres sepakat bahwa kongres selanjutnya akan diadakan di kawasan Aceh Tengah. Kongres ditutup dengan tujuh poin rekomendasi yang tercatat dalam Sarakata Wali Nanggroe.
Adapun ringkasan rekomendasi KPA II adalah pelihara, majukan, dan promosikan budaya, tradisi dan adat istiadat Aceh sebagai bagian peradaban dan identitas Aceh. Pendokumentasian segala aktivitas kebudayaan dengan bantuan AI sehingga mudah diakses publik. Kemudian, jadikan nilai-nilai islami sebagai landasan moral dan spiritual masyarakat Aceh.
Diperlukan dukungan anggaran untuk segala bentuk kreativitas dan inovasi pengembangan kebudayaan Aceh. Bangun solidaritas dan kesejahteraan masyarakat untuk mengatasi berbagai tantangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Pastikan juga pengakuan dan penghargaan terhadap HAM, keadilan, dan kebebasan berpendapat daam konteks pemajuan budaya dan tradisi Aceh.
Terakhir adalah tingakatkan kualitas pendidikan dan pengetahuan teknologi berbasis kebudayaan untuk menciptakan masyarakat terdidik dan terampil.
Hari ketiga acara ditutup dengan pargelaran musik dan pesta rakyat. Dalam pidato penutupan Pj Bupati Aceh Besar yang diwakili Kadis Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga disampaikan bahwa KPA II merupakan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan kebudayaan. Pemkab Aceh Besar menyampaikan apresiasi kepada ISBI Aceh dan semua pihak yang terlibat dalam menyukseskan acara ini.
Semoga langkah yang sudah tercatat dalam sejarah Kota Jantho ini dapat menjadi perekat dan penyemangat semua unsur masyarakat. Juga menyadarkan kita akan pentingnya perkembangan kebudayaan sebagai landasan kehidupan suatu bangsa. Resep-resep yang dhiasilkan melalui diskusi dalam KPA II menjadi penawar kelesuan kebudayaan di masyarakat Aceh saat ini. Sehingga, generasi sekarang dan generasi masa depan tidak akan menjadi generasi yang hana ‘tusoe droe, hana meuhoe woe, teuwo keu atra droe.’ Indatu kita telah membuktikan, pengaruh mereka sudah diakui oleh dunia. Mereka punya pengaruh di antara negara-negara besar pada abad ke-17. Tulisan-tulisan sejarawan dan antropolog Eropa cukup menjadi bukti empiris bahwa indatu kita pernah sangat disegani.
Kita sebagai penerus estafet peradaban Aceh, sudah seharusnya tidak terbuai dengan sejarah masa lampau. Tidak terbuai dengan kejayaan masa lalu yang sekarang sering kali diulang pada setiap relung kehidupan rakyat Aceh. Mari mengambil langkah konkret bahwa Aceh hari ini juga dapat berjaya seperti dahulu. Tingkatan minimalnya bahwa kebudayaan Aceh tidak punah dan dapat terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Kebudayaan tidak hanya dijadikan komoditas politik yang dibahas saat akan memasuki masa kontetasi saja. Akan tetapi kebudayaan terus dirawat dan dikembangkan sebagai aset dari kita yang mengaku sebagai ‘bansa teuleubeh ateuh rhueng donya’.