Banyak orang belum menyadari bahwa seni dan budaya mempunyai peran penting dalam menyampaikan pesan pengurangan risiko bencana.
Hal tersebut yang penulis pikirkan ketika mewakili Institut Seni Budaya Indonesia Aceh (ISBI Aceh) dalam pelatihan yang bertajuk Regional Bilateral Hybrid Training dengan topik “Science Communication Strategies in Disaster Risk Reduction (Tsunami), yang diadakan oleh Tsunami Disaster Mitigation Research Centre (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, UNESCO dan The Japanese Funds-in-Trusts.
Selama pelatihan 4 hari tersebut, mulai 17 hingga 20 Januari 2023, para pemateri nasional maupun internasional banyak mengangkat peran penting komunitas seni dan budaya dalam pengurangan resiko bencana (Disaster Risk Reduction).
Masih segar dalam ingatan kita bencana tsunami yang terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004 lalu di seluruh daratan Aceh, korban tewas melebihi 120 ribu jiwa, sementara di Pulau Simeulue, pulau yang masih termasuk dalam Provinsi Aceh, korban tewas 3 orang dari total penduduk 80,380 jiwa (McAdoo et al., 2006).
Dr Alfi Rahman, pembicara dari TDMRC USK memaparkan dalam satu sesi pelatihan, bahwa penduduk Simeulue banyak diselamatkan melalui kesuksesan budaya Smong yang diceritakan lewat tradisi nyanyian sebelum tidur.
Syair Smong bahkan diturunkan lewat adat tutur kata Nafi-Nafi dan nyanyian Nandong.
Tradisi ini merupakan cara penduduk Simeulue yang selamat dari gempa dan tsunami, yang terjadi pada 4 Januari 1907, menyampaikan kesedihan, pengalaman, hingga hal eksplisit yang harus dilakukan saat gempa dan tsunami terjadi.
Berkaca dari kasus tersebut, Institut Seni Budaya Indonesia Aceh memiliki kekuatan dan potensi dalam pengembangan budaya tanggap bencana lewat seni pertunjukan, seni rupa, dan desain komunikasi visual.
Lewat seni pertunjukan misalnya, cerita Smong di Simeulue, Ie Beuna di Aceh Besar, serta Gloro di Singkil, dapat dieksplorasi dan dikembangkan lebih lanjut menjadi bentuk tarian, nyanyian, dan pentas teater yang lebih mudah diterima oleh masyarakat secara luas.
Pertunjukan ini juga berpotensi untuk ditampilkan dalam acara-acara mengenang tragedi bencana dan untuk mengisi ruang-ruang tanggap bencana yang kosong saat sedang tidak terjadi bencana, seperti Tsunami Escape Building.
Peran pertunjukan seni seperti ini tentunya dapat menghidupkan ruang-ruang penyelamatan bencana yang sering terbengkalai.
Selain itu, Institut Seni Budaya Indonesia Aceh juga mendidik putra-putri bangsa di bidang desain komunikasi visual.
Bidang tersebut mendalami dan mengeksplorasi cerita tekstual menjadi visualisasi yang menarik. Dalam konteks tanggap bencana, cerita rakyat seperti Smong, berpotensi untuk divisualisasikan dengan menarik lewat cerita bergambar seperti komik.
Cerita bergambar yang memuat pesan bencana seperti ini harapannya dapat menjadi pemikat bagi generasi muda untuk mempelajari cara-cara penyelamatan saat tsunami terjadi.
Dalam pelatihan yang diikuti oleh 40 peserta nasional maupun internasional tersebut, Emiliano Rodriguez Nuesch dari Risk Communication Agency Pacífico memperkenalkan sebuah tim bernama Disaster Fighters dari Karibia dan Amerika Tengah (www.disaster-fighters.org). Mereka menggunakan desain visual yang memikat, seperti logo yang catchy dan perpaduan warna yang disukai masyarakat untuk untuk mempromosikan gerakan tanggap bencana.
Mereka mengembangkan pendekatan visual tersebut ke dalam penjualan merchandise, seperti kaos, tote bag dan topi yang keuntungan penjualannya disumbangkan untuk para korban bencana. Mereka juga aktif mempromosikan aksi tanggap bencana lewat musik, podcast dan klip video.
Media-media yang mereka gunakan tersebut adalah hal-hal yang sudah selama ini dikembangkan oleh ISBI Aceh, sehingga ISBI Aceh punya potensi untuk mengembangkan karya visual, musik, podcast, dan film yang membawa pesan tanggap bencana.
Karya seni rupa murni seperti lukisan maupun karya trimatra (tiga dimensi) juga dapat menjadi media penyampaian pesan bencana.
Lewat lukisan, pesan suram dan kelam kejadian bencana dapat disampaikan dan berbekas dalam memori masyarakat. Begitu pula instalasi tiga dimensi, yang dapat dijadikan monumen peringatan untuk mengenang dan belajar dari kejadian bencana.
Seni Rupa Murni juga memiliki potensi dalam pengembangan kegiatan melukis dan membuat karya seni tiga dimensi sebagai sarana penyembuh trauma kepada korban bencana.
Lewat pendekatan art healing, korban bencana terutama anak-anak dapat melupakan emosi dan kesedihan mereka lewat kegiatan menggambar, mewarnai, hingga membuat karya seni rupa lainnya.
Sebentar lagi, akan lahir pula Program Studi Desain Interior yang berfokus pada pendalaman arsitektur dan interior yang berbasis etnik nusantara. Melalui prodi ini, generasi bangsa akan dididik terkait ilmu-ilmu desain ruang yang tanggap terhadap bencana dan mengeksplorasi pengetahuan ruang tanggap bencana yang telah ada di masyarakat setempat.
Seperti budaya membangun Rumoh Aceh yang tahan gempa, tanpa menggunakan paku dan sambungan yang kaku. Sehingga saat gempa melanda, Rumoh Aceh dapat mempertahankan bentuk dan melindungi manusia yang tinggal di dalamnya.
Program Studi Kriya Seni juga memiliki peran dalam pengurangan risiko bencana. Belajar dari pengalaman Gempa Cianjur pada November 2022, selain tertimpa reruntuhan bangunan, banyak pula korban yang tertimpa furniture.
Mebel seperti lemari dan meja, yang di Jepang menjadi alat perlindungan saat gempa terjadi untuk menghindari reruntuhan bangunan, ternyata menjadi pembunuh dalam kasus gempa dangkal yang berpusat di darat tersebut.
Melalui prodi Kriya Seni, dipelajari bagaimana furniture bekerjasama dengan ruang interior dalam menyelamatkan manusia saat kejadian bencana terjadi. Selain aspek keindahan, aspek kekuatan dan fungsi ruang maupun furniture, merupakan fokus pembelajaran pada program studi Desain Interior dan Kriya Seni di ISBI Aceh.
Mahasiswa ISBI Aceh, pemuda-pemudi yang kreatif, memiliki potensi sebagai penyampai pesan untuk mengurangi risiko bencana. Ide – ide kreatif generasi muda lebih mudah diterima di masyarakat dan mereka juga diharapkan menjadi penyampai pesan bencana melalui interfensi seni budaya di masa mendatang.
Oleh sebab itu, Institut Seni Budaya Indonesia Aceh, yang terletak di provinsi rawan bencana, Aceh, memiliki peran yang cukup besar dalam mengembangkan budaya tanggap bencana lewat penelitian dan kreasi seni, desain maupun budaya.
Kehadiran ISBI Aceh sebagai pusat penelitian seni dan budaya tanggap bencana diharapkan semakin memperkuat ketahanan masyarakat Aceh terhadap potensi bencana di masa mendatang.
Penulis : Muhammad Naufal Fadhil, S.Ars., M.Arch, Pengajar Program Studi S1 Desain Interior ISBI Aceh, [email protected].