Penulis JW Archives - Institut Seni Budaya Indonesia Aceh https://isbiaceh.ac.id/tag/penulis-jw/ Selamat Datang di Institut Seni Budaya Indonesia Aceh - isbiaceh.ac.id Mon, 13 May 2024 03:42:11 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.5 https://isbiaceh.ac.id/wp-content/uploads/2021/05/Institut_Seni_Budaya_Indonesia_Aceh-50x50.png Penulis JW Archives - Institut Seni Budaya Indonesia Aceh https://isbiaceh.ac.id/tag/penulis-jw/ 32 32 ISBI Aceh Tawarkan Resep Pencegah ‘Stunting’ Kebudayaan https://isbiaceh.ac.id/isbi-aceh-tawarkan-resep-pencegah-stunting-kebudayaan/ Mon, 13 May 2024 03:41:16 +0000 https://isbiaceh.ac.id/?p=16884 ACHMAD ZAKI, M.A., Dosen dan Kepala UPA Pengembangan Karier dan Kewirausahaan ISBI Aceh serta Koordinator FAMe Chapter ISBI Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar Intsitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh bersama masyarakat Jantho menggenapkan rangkaian peringatan Hari Jadi Ke-40 Kota Jantho dengan gelaran Kongres Peradaban Aceh (KPA) II. Para seniman dan budayawan menyambut gembira gelaran agenda… Read More »ISBI Aceh Tawarkan Resep Pencegah ‘Stunting’ Kebudayaan

The post ISBI Aceh Tawarkan Resep Pencegah ‘Stunting’ Kebudayaan appeared first on Institut Seni Budaya Indonesia Aceh.

]]>
ACHMAD ZAKI, M.A., Dosen dan Kepala UPA Pengembangan Karier dan Kewirausahaan ISBI Aceh serta Koordinator FAMe Chapter ISBI Aceh, melaporkan dari Jantho, Aceh Besar

Intsitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh bersama masyarakat Jantho menggenapkan rangkaian peringatan Hari Jadi Ke-40 Kota Jantho dengan gelaran Kongres Peradaban Aceh (KPA) II. Para seniman dan budayawan menyambut gembira gelaran agenda pemajuan peradaban ini.

Secara historis, KPA pertama kali digagas oleh para seniman dan budayawan diaspora dan digelar di Jakarta tahun 2015. Dalam sambutannya, DrAhmad Farhan Hamid selaku Ketua SC KPA II, mengatakan saat pelaksaan kongres pertama,  mereka berharap kongres ini tidak melibatkan pemerintah. Biarlah kongres ini digagas dan dipelihara oleh mereka yang mempunyai atensi khusus terhadap peradaban Aceh sehingga akan terhindar dari berbagai kepentingan. Sudah saatnya rakyat Aceh mengambil peran sebagai aktor dalam pemajuan peradabannya sendiri, bukan menjadi epigon.

Salah satu rekomendasi KPA I adalah menyelenggarakan kongres lanjutan dengan tema kuliner. Akan tetapi, hari berlalu, tahun berganti, hingga memasuki tahun 2023 akhir, KPA selanjutnya belum juga dapat diselenggarakan. ISBI Aceh memberanikan diri mengambil tanggung jawab moral sebagai satu-satunya PTN seni di Aceh yang tentunya menjadi tulang punggung pengembangan kebudayaan yang bermuara pada peradaban. Akhirnya, pada  6-8 Mei 2024, KPA ll resmi digelar oleh ISBI Aceh bahu-membahu dengan BPKW I Aceh dan masyarakat Jantho.

KPA II mengusung tema Pemerkasaan Seni Budaya di Era Kecerdasan Artifisial. Dalam pidato pembukaan, Rektor ISBI, Prof Wildan menjelaskan alasan pemilihan tema KPA II ini yang disandingkan dengan kecerdasan buatan. Seniman dan budayawan harus peka terhadap segala perubahan sehingga mereka siap untuk terus menyesuaikan diri. Kita tidak dapat menyalahkan orang lain apabila kebudayaan kita tidak berkembang, bahkan suatu saat akan hilang. Akan tetapi, kita harus berkaca dan terus menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Seniman dan budayawan merupakan figur dalam pengembangan kreativitas, mereka dapat memberikan asupan vitamin dalam pengembangan kebudayaan dan peradaban. Sehingga, dapat menghindari mandeknya perkembangan kebudayaan atau dengan istilah lain adalah ‘stunting’.

Amatan saya, KPA II ini sangat meriah, diiringi oleh berbagai kegiatan. Pada hari pertama diawali dengan Konferensi Internasional dengan tema “The Empowerment of Acehnese Arts and Culture in Builiding Future Civilization”. Konferensi ini berjalan sukses dengan pembicara dari dalam dan luar negeri, yaitu Dr Restu Gunawan mewakili Kemendikbudristek, Komjen Pol (Purn) Prof Iza Fadri (Dubes Myanmar 2018-2023), Dr Saparudin Barus ST, MM (dari Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia), Dr James Bennet (Museum Seni Northern Territory, Australia), Dr Roostum Vansu (Universitas Srinakhairinwirot, Thailand), Dr Muqtedar Khan (Universitas Delaware, Amerika Serikat), dan diakhiri oleh Prof Dr Khairul Azril Ismail (National Academy of Arts and Culture, Malaysia).

Malam harinya diadakan acara pembukaan dengan menampilkan putra terbaik Aceh, Fachry Ali yang berdomisili di Jakarta, untuk menyampaikan pidato kebudayaan. Uniknya, pidato yang disampaikan Fachry selalu diselipi senandung, ini mengingatkan kita akan kebiasaan masyarakat Aceh yang gemar bersenandung dan berhikayat.

Fachry membangun romantisme masa lampau Aceh dengan berbagai sentuhan hikayat. Membuka kembali lembaran sejarah perjuangan rakyat Aceh.

Kemeriahan dilengkapi dengan Pameran Seni Budaya & UMKM, dan berbagai workshop dari Prodi Kajian Sastra dan Budaya, Desain Interior, Bahasa Aceh, Seni Tari, Seni Rupa Murni, Desain Komunikasi Visual, dan Seni Kriya.

Kongres ini juga dimeriahkan oleh Kemah Seniman dan Budayawan sebagai pengejawantahan kekayaan ekspresi kebudayaan Aceh. Dalam arena kemah seniman disediakan pangung sebagai tempat para seniman berkreasi. Hari kedua dilaksanakan kongres yang dihadiri oleh PYM Malik Mahmud, seniman  dan budayawan seluruh Aceh.

Sebagai pematik diskusi, panitia kongres menghadirkan Ismali Rasyid (pengusaha Aceh yang berdomisili di Jakarta), Dr. Surya Darma (Sekretaris  Diaspora Global Aceh), Reza Idria Ph.D (Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh), juga yang mewakili Pangdam Iskandar Mudda.

Saya berbahagia sekali menyaksikan betapa hangatnya sebuah forum diskusi yang dipandu Yarmen Dinamika dan akan memengaruhi arah kebudayaan dan peradaban Aceh di masa depan. Ini membuktikan segenap elemen masyarakat Aceh masih sedia untuk ‘meuseuraya’ (bergotong royong) dalam memikirkan keberlangsungan peradabannya. Mungkin selama ini, hanya waktu saja yang tidak mempertemukan mereka.

Selanjutnya para peserta kongres sepakat bahwa kongres selanjutnya akan diadakan di kawasan Aceh Tengah. Kongres ditutup dengan tujuh poin rekomendasi yang tercatat dalam Sarakata Wali Nanggroe.

Adapun ringkasan rekomendasi KPA II adalah pelihara, majukan, dan promosikan budaya, tradisi dan adat istiadat Aceh sebagai bagian peradaban dan identitas Aceh. Pendokumentasian segala aktivitas kebudayaan dengan bantuan AI sehingga mudah diakses publik. Kemudian, jadikan nilai-nilai islami sebagai landasan moral dan spiritual masyarakat Aceh.

Diperlukan dukungan anggaran untuk segala bentuk kreativitas dan inovasi pengembangan kebudayaan Aceh. Bangun solidaritas dan kesejahteraan masyarakat untuk mengatasi berbagai tantangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Pastikan juga pengakuan dan penghargaan terhadap HAM, keadilan, dan kebebasan berpendapat daam konteks pemajuan budaya dan tradisi Aceh.

Terakhir adalah tingakatkan kualitas pendidikan dan pengetahuan teknologi berbasis kebudayaan untuk menciptakan masyarakat terdidik dan terampil.

Hari ketiga acara ditutup dengan pargelaran musik dan pesta rakyat. Dalam pidato penutupan Pj Bupati Aceh Besar yang diwakili Kadis Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga disampaikan bahwa KPA II merupakan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan kebudayaan. Pemkab Aceh Besar menyampaikan apresiasi kepada ISBI Aceh dan semua pihak yang terlibat dalam menyukseskan acara ini.

Semoga langkah yang sudah tercatat dalam sejarah Kota Jantho ini dapat menjadi perekat dan penyemangat semua unsur masyarakat. Juga menyadarkan kita akan pentingnya perkembangan kebudayaan sebagai landasan kehidupan suatu bangsa. Resep-resep yang dhiasilkan melalui diskusi dalam KPA II menjadi penawar kelesuan kebudayaan di masyarakat Aceh saat ini. Sehingga, generasi sekarang dan generasi masa depan tidak akan menjadi generasi yang hana ‘tusoe droe, hana meuhoe woe, teuwo keu atra droe.’ Indatu kita telah membuktikan, pengaruh mereka sudah diakui oleh dunia. Mereka punya pengaruh di antara negara-negara besar pada abad ke-17. Tulisan-tulisan sejarawan dan antropolog Eropa cukup menjadi bukti empiris bahwa indatu kita pernah sangat disegani.

Kita sebagai penerus estafet peradaban Aceh, sudah seharusnya tidak terbuai dengan sejarah masa lampau. Tidak terbuai dengan kejayaan masa lalu yang sekarang sering kali diulang pada setiap relung kehidupan rakyat Aceh. Mari mengambil langkah konkret bahwa Aceh hari ini juga dapat berjaya seperti dahulu. Tingkatan minimalnya bahwa kebudayaan Aceh tidak punah dan dapat terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Kebudayaan tidak hanya dijadikan komoditas politik yang dibahas saat akan memasuki masa kontetasi saja. Akan tetapi kebudayaan terus dirawat dan dikembangkan sebagai aset dari kita yang mengaku sebagai ‘bansa teuleubeh ateuh rhueng donya’.

The post ISBI Aceh Tawarkan Resep Pencegah ‘Stunting’ Kebudayaan appeared first on Institut Seni Budaya Indonesia Aceh.

]]>
Tiga Mahasiswa ISBI Aceh Eksplorasi ‘Rateb Mensa’ https://isbiaceh.ac.id/tiga-mahasiswa-isbi-aceh-eksplorasi-rateb-mensa/ Wed, 08 May 2024 03:34:56 +0000 https://isbiaceh.ac.id/?p=16814 MAM WAHYUDI, Mahasiswa ISBI Aceh, melaporkan dari Beutong Ateuh, Nagan Raya Rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi terhadap tradisi yang masih dipertahankan secara turun-temurun membuat para peneliti muda (Imam Wahyudi, Badrul Mukhlishiin, dan Arisa Yulianti) yang merupakan mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh tergerak untuk melakukan penelitian. Tujuannya, untuk mangangkat dan menuliskan temuan baru yang kemudian akan… Read More »Tiga Mahasiswa ISBI Aceh Eksplorasi ‘Rateb Mensa’

The post Tiga Mahasiswa ISBI Aceh Eksplorasi ‘Rateb Mensa’ appeared first on Institut Seni Budaya Indonesia Aceh.

]]>
MAM WAHYUDI, Mahasiswa ISBI Aceh, melaporkan dari Beutong Ateuh, Nagan Raya

Rasa penasaran dan keingintahuan yang tinggi terhadap tradisi yang masih dipertahankan secara turun-temurun membuat para peneliti muda (Imam Wahyudi, Badrul Mukhlishiin, dan Arisa Yulianti) yang merupakan mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh tergerak untuk melakukan penelitian. Tujuannya, untuk mangangkat dan menuliskan temuan baru yang kemudian akan dipublikasi sebagai upaya untuk melestarikan tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang agar semakin dikenal dan populer di kalangan masyarakat luas.

Kamis, 18 April 2024, kami melakukan penelitian terhadap pertunjukan Rateb Mensa di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang. Rateb Mensa tahun ini dilaksanakan di Desa Kuta Teungoh, Kecamatan Beutong Ateuh, Nagan Raya.  Kabupaten ini kaya akan warisan budaya seperti Rateb Mensa Pho Padee dan Rapai Tuha.

Rateb Mensa bukan sekadar kegiatan biasa. Ia adalah riuh rendah yang melambangkan kebersamaan, spiritualitas, dan kekayaan tradisi. Setiap tahun, menjelang akhir Ramadhan, warga Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang merayakan kehadiran bulan suci itu dengan Rateb Mensa secara bergiliran di setiap desa. Tahun ini diadakan di Desa Kuta Teungoh. Sebagai mahasiswa kami menemui, memperhatikan, dan meresapi bagaimana kegiatan ini menjadi pilar tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Kami menemukan bahwa Rateb Mensa bukanlah sekadar pertunjukan seni, melainkan panggung spiritualitas yang memadukan kekuatan vokal, gerak tubuh, dan penghayatan syair dan zikir.

Dari hasil wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui tentang Rateb Mensa seperti Tgk Jafar, Tgk Jamaludin, Tgk Amren Mukminin, dan Tgk Mail, terkuaklah sebuah narasi yang menggambarkan peran penting mereka sebagai pelaku Rateb Mensa, sebuah praktik keagamaan yang berasal dari ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani, seorang wali Allah yang dihormati.

Di Aceh, praktik ini diwariskan oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili, seorang tokoh yang menyaksikan bagaimana kehidupan beragama di tanah Aceh mulai menjauh dari nilai-nilai Islam. Syekh Abdurrauf, dalam usahanya menyebarluaskan agama Islam, menghadapi berbagai rintangan. Namun, keteguhan hatinya tak tergoyahkan. Dia menyadari bahwa masyarakat memiliki minat dan kecenderungan yang berbeda dalam menyikapi agama. Oleh karena itu, dia ambil pendekatan yang bijaksana: mengarahkan dakwah sesuai dengan kebutuhan dan minat masyarakat. Strategi yang digunakan Abdurrauf sangatlah bijak. Dia memahami bahwa seni merupakan salah satu bentuk ekspresi yang sangat dekat dengan hati masyarakat. Maka dari itu saat di mana lahirnya Rateb Mensa berzikir degan cara berdiri, sebuah konsep yang sederhana, tetapi sarat dengan makna.

“Rateb” berasal dari bahasa Aceh yang memiliki arti zikir menjadi bagian inti dari kegiatan ini dan  “Mensa” hanya merupakan sebuah penamaan, sebuah panggilan untuk mengingatkan masyarakat tentang kegiatan yang memiliki makna mendalam ini. Dengan kebijaksanaan dan kecakapan strategisnya Abdurrauf mampu menggerakkan hati masyarakat dengan Rateb Mensa. Masyarakat pun secara bersama-sama terlibat dalam zikir, gerakan tubuh, dan pembacaan zikir Rateb Mensa, menyatu dalam kebersamaan dan kekhusyukan sehingga menciptakan ruang spiritualitas yang kuat.

Di Beutong Ateuh sendiri, Rateb Mensa sempat mengalami masa kevakuman sebelum direvitalisasi  oleh Teungku Bantaqiah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran tokoh agama dalam menjaga dan melanjutkan tradisi yang memiliki makna religius dan budaya yang dalam. Melalui kisah perjuangan Syekh Abdul Qadir Jailani dan kelanjutan tradisi Rateb Mensa oleh tokoh agama setempat, kita dapat melihat betapa pentingnya upaya untuk mempertahankan dan menyebarkan nilai-nilai agama dan budaya yang menjadi warisan leluhur. Rateb Mensa tidak hanya sekadar ritual, tetapi juga simbol dari kekuatan dan keindahan kebersamaan dalam perjalanan spiritual umat Islam di Aceh.

Kegiatan Rateb Mensa tahun ini menjadi magnet bagi anak muda di Desa Kuta Teungoh yang dipimpin M Yunus selaku ketua pemuda Desa Kuta Teungoh. Mereka tidak hanya menyaksikan, tetapi juga aktif terlibat dalam melaksanakan setiap aspek acara. Mereka mengundang pemuda dari desa lain untuk memeriahkan Rateb Mensa tersebut. Antusiasme mereka menjadi semangat tersendiri bagi kelancaran acara ini.

Di balik panggung, Hamiton, seorang tokoh masyarakat yang diamanahkan sebagai ketua panitia, dengan penuh semangat memimpin jalannya acara. Pada pukul 20.30 WIB, bakda isya, panggung Rateb Mensa menjadi pusat perhatian. Dami, seorang pemuda dari Kuta Teungoh, dengan percaya diri memegang mikrofon sebagai MC. Kemudian, ketua panitia memberikan arahan dan menjelaskan anggaran yang akan dikeluarkan untuk acara ini. Selain itu, Banta Murji selaku ketua pemuda dari Kecamatan Beutong Ateuh turut serta dalam melanjutkan acara. Semua berjalan dengan dan diakhiri degan pembukaan Rateb Mensa  oleh Keuchik Gampong Kuta Teungoh.

Rateb Mensa ini dibuka oleh Tgk Jafar, seorang tokoh agama yang dihormati, pengganti Tgk Malikul Azis selaku anak dari alm Tgk Bantaqiah yang tidak bisa menghadiri kegiatan tersebut. Tgk Jafar dengan penuh khidmat membuka acara dengan membaca doa dan membakar kemenyan sebagai awal mula kegiatan dimulai. Suara zikir yang lantang, menciptakan aura semangat  yang begitu kuat di sekeliling mereka.

Malam pertama Rateb Mensa berjalan lancar tanpa kendala dan berakhir pada pukul 23.00 WIB dengan kehangatan dan kebersamaan yang terasa begitu nyata. Inilah awal dari rangkaian empat malam berturut-turut yang penuh makna.

Pada malam kedua dan ketiga antusiasme masyarakat semakin bertambah, gemuruh suara zikir makin menambah semangat masyarakat dalam melaksanakan ritual tahunan ini. Masyarakat mengambil kesempatan untuk mencari rezeki dengan menjual makanan-makanan ringan di lokasi acara. Dengan demikian, omset masyarakat bertambah apabila diadakannya kegiatan Rateb Mensa. Kebersamaan dalam zikir, gerakan badan, dan doa bersama menciptakan ruang spiritual yang begitu kuat, membiarkan peserta dan penonton merasakan kehadiran suasana yang sakral dan mendalam.

Malam keempat yang merupakan malam terakhir Rateb Mensa, makin ramai masyarakat yang bersemangat menuju lokasi Rateb Mensa untuk menyaksikan acara penutupan. Malam itu memiliki aura yang berbeda, memancarkan kekuatan spiritual yang menggetarkan hati, berbeda dari tiga malam sebelumnya. Suara zikir yang lantang bersama dengan gerakan tubuh membawa energi yang luar biasa menggetarkan seluruh tempat pelaksanaan Rateb Mensa di Kota Tengoh. Semua ini tak lepas dari peran penting seorang syekh utama, Tgk Jafar, yang didampingi sejumlah syekh pendamping, seperti Tgk Saipon’c, Tgk Khairun Mubin, Tgk Alamsyah, dan Tgk Yusri. Mereka bersama-sama menciptakan suasana yang memukau dengan zikir yang penuh kekhusyukan dan gerakan tubuh yang memesona.

Pada malam penutupan ini banyak peserta yang kelelahan, bahkan ada yang pingsan, karena terbawa dalam antusiasme menjalankan ibadah zikir Rateb Mensa.

Panitia menyajikan hidangan gulai kambing sebagai bagian dari acara penutupan. Setelah doa bersama yang dipimpin Tgk Bali, masyarakat pun menikmati hidangan yang telah disiapkan.

Dengan rasa syukur dan kebahagiaan yang tak terlupakan, Rateb Mensa tahun ini pun ditutup. Malam itu tidak hanya meninggalkan kenangan yang indah, tetapi juga memperkuat ikatan antarwarga dalam menjaga tradisi keagamaan. Semoga semangat dan kebersamaan ini terus berlanjut pada masa mendatang. (*)

The post Tiga Mahasiswa ISBI Aceh Eksplorasi ‘Rateb Mensa’ appeared first on Institut Seni Budaya Indonesia Aceh.

]]>
Dua Tokoh Singkil Membingkai Peradaban yang Bersyariah https://isbiaceh.ac.id/dua-tokoh-singkil-membingkai-peradaban-yang-bersyariah/ Tue, 07 May 2024 07:24:17 +0000 https://isbiaceh.ac.id/?p=16800 SADRI ONDANG JAYA, S.Pd., Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Aceh Singkil, melaporkan dari Singkil Alhamdulillah, dua pekan lalu saya mendapat undangan tertulis dari Prof Dr Wildan MPd, Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. Di undangan itu saya diajak untuk ikut menjadi peserta Kongres Peradaban Aceh (KPA) II yang di dalamnya ada kegiatan pengiring,… Read More »Dua Tokoh Singkil Membingkai Peradaban yang Bersyariah

The post Dua Tokoh Singkil Membingkai Peradaban yang Bersyariah appeared first on Institut Seni Budaya Indonesia Aceh.

]]>
SADRI ONDANG JAYA, S.Pd., Koordinator Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Aceh Singkil, melaporkan dari Singkil

Alhamdulillah, dua pekan lalu saya mendapat undangan tertulis dari Prof Dr Wildan MPd, Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. Di undangan itu saya diajak untuk ikut menjadi peserta Kongres Peradaban Aceh (KPA) II yang di dalamnya ada kegiatan pengiring, seperti seminar internasional, workshop, pertunjukan seni budaya, kemah seniman, dan pameran produk seni.

Perhelatan budaya yang rencananya dihadiri ratusan peserta dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri itu, diselenggarakan pada 6-7 Mei 2024 di Kampus ISBI, Jantho, Aceh Besar.

Menariknya, saya diundang ke kongres, bukan karena profesi saya seorang guru, melainkan, menurut panitia, sebagaimana yang tertera dalam surat, karena saya budayawan dan penulis.

Acara-acara yang tertera di undangan itu, saya nilai, sangat bagus, urgen, dan langka. Narasumbernya pun sangat mumpuni. Pokok bahasan yang bakal dipaparkan pun sangat relevan dengan situasi kekinian. Apalagi yang mengundang saya orang yang kedudukannya tertinggi di ISBI Aceh dan pernah menjadi senior dan guru saya di FKIP Universitas Syiah Kuala (USK) Darussalam, Banda Aceh.

Ditambah lagi,  kapasitas yang disematkan pada saya sangat keren, “budayaan dan penulis”, maka tanpa tedeng aling-aling, apalagi komplain, saya terima saja undangan itu. Lalu, saya mendaftarkan diri dan bertekad untuk ikut kegiatan tersebut.

Setelah saya mendaftar dan identitas saya diregistrasi, saya merenung, dengan kapasitas saya dan dikaitkan dengan keadaan kondisi sekarang, saya harus bisa berkontribusi dan turut urun rembuk dalam KPA kali kedua ini.

Turut urun rembuk, tentunya yang paling efektif sekarang, menurut saya, salah satunya adalah melalui tulisan, di samping melalui dialog-dialog dalam kongres dan seminar nantinya.

Sebagai permulaan, saya membuat tulisan singkat ini. Dahulu, dahulu sekali, tepatnya pada abad ke-16 dan ke-17, di Singkil lahir dua orang pria, tentu bukan sekaligus. Oleh orang tuanya, diberi nama Hamzah Fansuri dan Abdurrauf As-Singkili.

Keduanya pun menjadi guru, ulama tersohor,  penulis, pujangga, dan terus berkiprah dalam khazanah ilmu pengetahuan plus kecendekiawan serta menjadi ‘dedengkot’ di Kerajaan Aceh Darussalam. Sejak masa Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Sri Shafiatuddin hingga Sultanah Kemalat Syah. Syekh Hamzah Fansuri dan Sayekh Abdurrauf As-Singkili, sangat aktif dan produktif menyebarkan ilmu dan melakukan pembejaran melalui dayah-dayah dan majelis-majelis ilmu kepada jemaah dan murid-muridnya. Kemudian murid-muridnya itu menjadi ulama hebat dan berkaliber yang menyebar ke penjuru Nusantara.

Sebut saja di antaranya, Syamsuddin As-Sumatrani (murid Syekh Hamzah Fansuri). Syekh Burhanuddin dari Ulakan Minangkabau, Sumatera Barat, Abdul Muhyi di Jawa Barat, Abdul Malik bin Abdullah dari Terengganu, dan Daud Ibnu Rumi keturunan Turki (murid Syekh Abdurrauf As-Singkili).

Tidak itu saja, ilmu yang dimiliki keduanya, ditorehkan pada risalah dan kitab-kitab berbahasa Melayu bergenre sastra, syair, dan prosa. Yang kemudian, setelah diimplementasikan, ikut mewarnai kehidupan pemerintahan, bernegara, sosial, dan kemasyarakatan. Bahkan, mewarnai  peradaban Aceh.

Bisa kita katakan, atas peran signifikan Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkil, bersama ulama lain dan petinggi kerajaan yang tangguh, kreatif, inovatif, dan ditopang oleh elemen masyarakat lainnya, peradaban Aceh tertata dengan baik, maju, dan bermartabat dalam bingkai syariat Islam yang kental.

Sebagai bukti, ada “hadih maja” yang sangat populer dan  fenomenal di Aceh berbunyi: Adat bak Poteumeureuhom, hukum bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Lakseumana. Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut.

Sehingga ketika itu, tak pelak lagi, Kerajaan Aceh Darussalam, menjadi kerajaan terhebat di dunia. Aceh  menjadi negeri yang aman, damai, dan sejahtera. Dengan kata lain, negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Bahkan, Aceh Darussalam menjadi pusat tamadun di Nusantara.

Di samping itu, Kerajaan Aceh Darussalam menjadi panutan bagi negara-negara lain sebagai kerajaan yang berhasil merekonsiliasi konflik atau pertentangan yang sebelumnya tak kunjung terselesaikan, yaitu antara Syekh Hamzah Fansuri dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry tentang paham Wahdatul Wujud. Termasuk pula perbedaan pendapat ulama tentang boleh tidaknya perempuan menjadi raja (sultanah).

Kemudian, kedua ulama itu merupakan pembawa dan pengembang dan terus-menerus melakukan gerakan pembaruan neosufisme sehingga ajaran-ajaran keduanya menjadi sangat dominan masyhur dalam penghayatan agama dalam Kerajaan Aceh Darussalam.

Nah, dalam Kongres Peradaban Aceh II yang berlangsung di ISBI yang panelisnya Wali Nanggroe Aceh, Paduka YM Malik Mahmud Al-Haythar, Ketua Umum PP Diaspora Global Aceh, Dr Ir Mustafa Abubakar MSi, Setdakab Provinsi Aceh, Azwardi, Pangdam IM Aceh, Nico Fahriza, dan Rektor ISBI Prof Wildan, agaknya perlu kita kilas balik (direkonstruksi) pemikiran dan kiprah serta tatanan peradaban yang telah diimplementasikan atau ditorehkan oleh  kedua ulama Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Abdurrauf As-Singkili bersama ulama lainnya semasa Kerajaan Aceh Darussalam.

Kemudian, semua itu dijadikan sebagai spirit untuk membangun peradaban Aceh baru. Paling tidak, sebagai opsi alternatif untuk memperkuat spiritualisme dalam rangka mengadang peradaban  moderrnisme berbasis rasionalisme dan materialisme yang dikembangkan negara-negara Eropa. Dalam artian, Pemerintah Aceh sekarang, harus menguatkan kembali peradaban Aceh Darussalam dan menyesuaikannya dengan situasi kekinian. Sebab, Aceh adalah bangsa yang sangat besar. Bukan saja dilihat secara  fisik, tetapi dari makna kebesaran itu sendiri, seperti sejarahnya, etos juang, militansi, heroisme, dan peradaban masa lalunya.

Kebesaran Aceh ini, bisa tercapai dengan tatanan peradaban yang tinggi dan bermartabat yang dibingkai syariat Islam. Tanpa itu, Aceh sulit maju dan berkembang.

 

The post Dua Tokoh Singkil Membingkai Peradaban yang Bersyariah appeared first on Institut Seni Budaya Indonesia Aceh.

]]>